What the mind think, the body will created.

Mantan Narapidana Korupsi boleh ‘Nyaleg’

Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang pelarangan mantan narapidana (korupsi) menjadi caleg telah diputus oleh Mahkamah Agung pada kamis 13/9 kemarin. Hal ini menimbulkan kekecewaan dari beberapa pihak yang menginginkan Pemilu lebih berkualitas dan berintegritas.

Komisi Pemilihan Umum memandang bahwa PKPU No. 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR/DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota harus dipatuhi para pihak yang terkait dalam Pemilu, termasuk Bawaslu karena regulasi tersebut telah diundangkan dan masih berlaku, Bawaslu berpendapat bahwa Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perbedaan pendapat para penyelenggara pemilu ini merupakan hal yang seharusnya tidak terjadi, sebagai lembaga penyelenggara seyogyanya dilakukan koordinasi dalam perencanaan penyelenggaraan pemilu, untuk menciptakan pemilu yang berkualitas dan berintegritas serta mengindari polemik yang terlihat seperti membuang energi percuma seperti halnya yang terjadi saat ini.

Polemik ini terjadi ketika ada pihak yang keberatan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang pelarangan tersebut, pihak tersebut merasa bahwa hak-nya tercederai dengan terbitnya Peraturan Komisi pemilihan Umum tersebut. Salah satu pemohon Wa Ode Nurhayati, yang merupakan mantan terpidana kasus suap dana penyesuaian infrastruktur daerah, melalui kuasa hukumnya menganggap Peraturan KPU ini bertentangan dengan UU HAM, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Pemilu. “Bahwa hak dipilih dan memilih adalah hak yang dijamin oleh UUD 1945 dan tidak bisa dibatasi oleh Peraturan KPU.” Demikan yang terjadi, jalan terbaik menyelsaikan polemik ini adalah Judicial Review oleh Mahkamah Agung.

Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) membatalkan Pasal 4 ayat (3), pasal 7 huruf g pada Peraturan KPU No. 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Provinsi/Kab/kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No.26 Tahun 2018 tentang Pencalonan DPD terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam pemilu 2019. akhirnya, mantan narapidana dalam kasus tersebut boleh nyaleg.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini sentak membuat masyarakat terhenyak dan kecewa, dikarenakan masyarakat sangat menginginkan parlemen yang bersih dari koruptor. Harapan publik tinggal bertumpu pada kebijakan partai politik yang seyogyanya memperhatikan keinginan masyarakat. Seharusnya partai politik sebagai instrumen penting demokrasi memiliki tanggung jawab dalam menjaga kualitas dan integritas pelaksanaan pemilu.
Pertanyaannya adalah, apakah caleg mantan narapidana koruptor ini bisa mempertanggung jawabkan integritasnya sebagai anggota DPR ketika terpilih? Apa atau siapa yang bisa menjamin hal tersebut? Tentunya kekhawatiran ini merupakan hal yang wajar. Dalam hal tersebut, sepertinya masyarakat ingin diberikan jaminan, jaminan dimana caleg tersebut tidak akan lagi menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan korupsi.
Beberapa pakar mengatakan bahwa pelarangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak menjadi bakal calon legislatif ini dilakukan oleh Undang-Undang karena hal itu menyangkut hak asasi manusia, sesuai pasal 28J (2) UUD 1945 berbunyi “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Artinya pembatasan hak asasi manusia itu hanya dapat dituangkan dalam undang-undang bukan dalam Peraturan KPU.

Pembatasan dalam rangka menjamin terjadinya pemilu yang berkualitas dan berintegritas ini harus dilakukan, pembatasan disini adalah memberikan jaminan bahwa calon Pemimpin Negara/Kepala Daerah dan Calon Legislatif adalah orang-orang yang bersih, tidak berkasus hukum dan bermoral. Kewenangan untuk menyusun Undang-undang tersebut adalah Pemerintah, dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya memberikan jaminan bahwa ‘mereka’ berani berkomitmen terhadap dirinya sendiri. Komitmen yang dapat dituangkan dalam undang-undang tersebut misalnya : Pertama, tidak memiliki kasus hukum yang inkracht, terutama dalam Kasus Korupsi (KKN), Narkoba, pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak. Kedua, tidak sedang/pernah melakukan bisnis yang sifatnya mengeksploitasi alam karena kegiatan ini cenderung merugikan masyarakat diwilayah tempat ekploitasi tersebut. Ketiga,  tidak melakukan poligami kecuali atas izin istri pertama. Keempat, menyumbangkan sebagian gaji sebagai anggota parlemen untuk kegiatan sosial di daerah pemilihannya. Beberapa komitmen ini dapat dikaji lebih lanjut sebagai bahan pertimbangan, yang jelas komitmen itu harus tercatat dalam undang-undang sebagai syarat pencalonan anggota legislatif untuk sedikit membangkitkan gairah kepercayaan masyarakat dalam rangka menciptakan pemilu yang berkualitas dan berintegritas.

Kehendak publik yang ingin pemilu ini berkualitas dan berintegritas harus mendapat perhatian yang tinggi di dalam situasi turunnya kepercayaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat berpijak pada spirit perubahan yang dikehendaki publik, sekaligus untuk mengembalikan marwahnya sebagai perwakilan rakyat. ‘wakil rakyat’ jangan hanya mewakili rakyat dalam menikmati fasilitas mewah yang diberikan negara, tapi wakili rakyat dalam menyuarakan perubahan, wakili rakyat dalam menyampaikan aspirasinya untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat.

Pada akhirnya kita akan menunggu kebijaksanaan Dewan Perwakilan Rakyat untuk dapat menciptakan situasi pemilu yang lebih berkualitas dan berintegritas dengan membuat Undang-undang mengenai hal tersebut. Ini akan menjadi tantangan yang besar untuk DPR dengan berserakannya kepentingan yang ada pada tubuh DPR. Disisi lain, masyarakat menginginkan pemilu yang berkualitas dan berintegritas yang akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap DPR, terlepas dari kinerjanya. Tetapi apabila benar DPR akan ‘Berani’ mengundangkan pelarangan tersebut, tentunya masyarakat akan lebih optimis dengan lembaga DPR untuk memiliki kinerja dan integritas yang harus mereka buktikan sendiri dalam masa jabatannya dan terasa nyata manfaatnya bagi masyarakat.
Labels: bawaslu, caleg, DPR, DPRD, fachriha, kebijakan, korupsi, koruptor, kpu, legislatif, pemilu, politik

Thanks for reading Mantan Narapidana Korupsi boleh ‘Nyaleg’. Please share...!

0 Comment for "Mantan Narapidana Korupsi boleh ‘Nyaleg’"

Back To Top